Januari 2003
®


Herry Dim, Tanpa Judul, pinsil warna
dan cat air di atas kertas, 
21 X 23 cm, 1999
.
Catatan Kebudayaan
Esai
Cerita Pendek
Puisi-puisi

.

.

.

.

Kembali ke Halaman Muka

.

.

.

.

©

Seragam
Agus R. Sarjono

Seragam adalah hal penting dalam seluruh sistem pendidikan di Indonesia, lebih dari apapun. Seragam, misalnya, lebih penting dari kreativitas, kemampuan bernalar, kerajinan bersekolah, maupun apalagi minat baca siswa. Siswa yang tidak kreatif tentulah bisa dimaafkan, dan dia bakal lulus dengan baik-baik saja asal tidak melakukan tindakan gawat dan cukup rajin bersekolah. Kemampuan bernalar lemah, sulit melihat kaitan antara satu kejadian dengan kejadian, satu teori dengan teori dalam rangkaian sebab- akibat, jelas tidak mengapa. Selama sang siswa rajin menghafal, niscaya ia akan naik kelas dan pada gilirannya lulus sekolah dengan realtif mulus dan sejahtera. Dan jika ada siswa yang sejak menginjakkan kaki ke sekolah Sekolah Dasar hingga duduk di sekolah menengah umum sama sekali tidak pernah membaca sebuah buku pun hingga utuh selesai, tentulah tidak mengapa. Banyak siswa yang lulus dari sekolah menengah umum  maupun kejuruan tanpa punya pengalaman membaca sebuah novel sampai tamat, dan sama sekali hal ini tidak dianggap skandal. Tapi… jangan coba-coba bersekolah tanpa memakai seragam! Jika ada siswa yang bersekolah selama beberapa hari tanpa memakai seragam, dapat dipastikan ia akan mendapat teguran keras. Dan jika dia masih saja bersekolah tanpa seragam, hampir dipastikan dia akan segera dikeluarkan dari sekolah. Tidak pandai, tidak baca buku, tidak rajin, tidak aktif, tidak kreatif, sama sekali tidak masalah. Tapi jangan coba-coba tidak pakai seragam!

Seragam adalah norma utama pendidikan Indonesia, berani tidak menggubrisnya sama dengan melawan sendi-sendi pendidikan.

Seragam adalah prasarat penting bagi militer untuk mengenali kesatuan, juga untuk memudahkan dalam peperangan. Karena dalam pertempuran harus jelas siapa kawan siapa lawan, dan kawan atau lawan dikenali lewat seragam. Demikian juga dengan pertandingan-pertandingan olah raga, seperti sepak bola misalnya. Seragam untuk menandai siapa kawan siapa lawan. Bola harus jelas dioper kepada seragam yang tepat, sebab salah oper kepada seragam yang salah bisa gawat bagi keamanan gawang. Dan di beberapa kota besar Indonesia, khususnya di Jakarta, seragam sekolah lah di antaranya yang menjadi tanda siapa kelompok kawan dan siapa kelompok lawan dalam peristiwa-peristiwa tawuran. Jika terjadi tawuran antarsekolah, tidak penting benar siapa yang bersalah dan siapa yang memulai perkara, yang penting setiap siswa yang mengenakan seragam lawan akan dijadikan korban hantaman. Maka sesuai dengan semangat seragam ria itu, ujian-ujian pun dilakukan secara seragam di tingkat nasional. Lebih luas dari itu, semasa Orde Baru di semua lini dilakukan penataran-penataran P 4 untuk menyeragamkan pikiran masyarakat di berbagai tingkat dan urusan.

Sastra, berdasar tabiatnya adalah sebuah kegiatan yang melawan keseragaman. Sebagaimana kehidupan adalah representasi keberagaman, keberbagaian, kekayaan serba warna maka sastra pun mencari kaitannya yang akrab dengan kehidupan dan menemukan keberagaman. Bahkan moralitas yang formal dan necis serta cenderung seragam itu, dari waktu kewaktu selalu mendapat gugatan, pertanyaan ulang, dan perlawanan dari sastra.

Di negeri-negeri komunis yang gemar penyeragaman fikiran sastra hadir menggugat dengan menampilkan sosok manusia sebagai sesuatu yang unik, yang tidak seragam sebagaimana diperlihatkan Boris Pasternak dalam Dr. Zhivago, misalnya. Di tengah dominannya moralitas borjuis yang necis dan munafik, sastra hadir menampilkan sisi gelap dan kekotoran tersembunyi dari manusia seperti diperlihatkan Gustave Flaubert dalam Madame Bovary. Di tengah sistem pengkastaan yang ketat di India di satu sisi kehebohan “membela proletar”, sastra menampilkan percintaan murni antara kasta tinggi keluarga kaya dengan kasta terendah yang tak boleh disentuh, sekaligus menelanjangi kebobrokan petinggi komunis yang berlagak membela rakyat padahal berhati keji pada rakyat, sebagaimana ditampilkan dalam novelnya God of The Small Things. Dan di tengah dominannya sistem kekuasaan Jawa Feodal Orde Baru, sastra menampilkan anak keturunan bangsawan Jawa yang justru menelanjangi sistem feodal yang mengadopsi dan melestarikan struktur sosial kolonial Belanda, sebagaimana diperlihatkan Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya Bumi Manusia.

Jika ilmu bergeram mencari keumuman, sastra justru bergerak menuju kekhususan, keunikan. Maka jika manusia dalam ilmu cenderung dibuat tipologi-tipologi, maka manusia dalam sastra ditampilkan dalam situasinya yang khas. Makin besar suatu karya sastra makin besar pula gugatannya ke tengah jantung keumuman, makin kecil suatu karya sastra makin dekat dan rapat ia pada pandangan-pandangan yang serba umum tentang hidup, moralitas, dan manusia. Makin besar suatu karya sastra makin kukuh ia bergerak menerjang arus baik gaya hidup maupun moralitas umum, makin kurus suatu karya sastra makin hanyut ia berenang dalam arus gaya hidup dan moralitas umum.

Untuk mendapat segerombolan generasi muda yang menjelma massa, serba umum dan seragam, jauhkanlah mereka dari sastra. Dan untuk mendapat serombongan besar generasi muda yang kukuh berdiri menjadi dirinya sendiri dengan keberagaman dan keleluasaan imajinatif, dekatkanlah mereka dengan sastra. Dan sastra yang tidak membebaskan, tidak membuka ruang selebar-lebarnya bagi kemungkinan manusia sebagai unikum, adalah sastra yang immoral, karena moralitas sastra justru terletak pada pertanyaan dan gugatan-gugatannya pada absolutisme yang mengungkung eksistensi manusian untuk melonggarkan eksistensi manusia menuju seluas-luasnya wilayah (ke)mungkin(an)**

Kembali ke Atas

 

 

Januari 2003

.

Herry Dim, Tanpa Judul, pinsil warna
dan cat air di atas kertas, 
21 X 23 cm, 1999
.
Catatan Kebudayaan
Esai
Cerita Pendek
Puisi-puisi

.

.

.

.

Kembali ke Halaman Muka

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

©

 

Peristiwa Teroris 50 Jam di Bandung

Catatan Herry Dim

Tak kurang dari 53 penampil hadir mengisi acara (seni) 50 jam dari Jumat (12/10) pkl, 20.00 hingga Minggu (14/10) pkl. 22.00 di Rumah Nusantara, Bandung, yang diprakarsai Harry Roesli. Lepas dari perbedaan durasinya, peristiwa itu nyaris menjadi semacam "tradisi" di Bandung. Maka di balik peristiwa (seni) 50 jam, itu kiranya perlu sedikit kilas balik.

Tujuh tahun yang lalu, Juni 1994, adalah peristiwa (seni) 24 jam sebagai ungkapan keprihatian bersama terhadap peristiwa bredel tiga media (Tempo, Detik, dan Editor). Kami, Herry Dim, Dieter Mack, Ging Ginanjar, dan Harry Roesli, mengusap rasa solidaritas antar-sesama seniman; maka hadirlah Tisna Sanjaya, Tita, kawan-kawan sastrawan dari GSSTF Unpad, kawan-kawan jurnalis berbagai media, dll. Peristiwa pun berlangsung, muncul di sana satu istilah yang belakangan jadi populer: jeprut!

Model atau munculnya istilah jeprut, itu pun nisacaya bukanlah sesuatu yang tiba-tiba. Jauh lagi ke belakang, di masa pra-bredel adalah suasana "tenang terkendali" tapi sekaligus begitu mencekam, suasana yang begitu penuh ketakutan; jika hendak berujar mesti menelikung dan menekuk-tekuk dulu kata-kata hingga tak jelas, berekspresi seni pun seperti kehilangan kemungkinan serta kehilangan maknanya karena berhadapan dengan keadaan sekaligus kekuasaan yang begitu bebal dan degil. Maka, sepertinya ada sesuatu yang muncul dari bawah sadar, "persetanlah dengan bentuk (seni) karena hal itu sudah tak berguna lagi," begitulah kira-kira. Berkali-kali pula kami menjalani kegiatan yang kemudian oleh seorang kawan, Eddy Pohang, dinamai "proses untuk menjadi." Suatu kegiatan yang tak perlu kepanitiaan, tak perlu janji waktu, tak perlu mencatat siapa yang ikut dan siapa yang nonton, tak perlu pula memilah-pilah disiplin seni yang melatari, bahkan siapapun bisa masuk seketika itu.

Berkali-kali peristiwa itu berlangsung. Suatu ketika ada Andar Manik, berikutnya bisa saja menghilang. Demikian halnya Marintan, Arahma"jelug"yani, Ine Arini, Tisna Sanjaya, Tony Broer, Rachman Sabur, Soni Farid Maulana, Wawan S. Husin, dan belakangan Isa Perkasa, kawan dari gerbong, serta tentu saja beberapa orang seperti Erick Yusuf, Moro, Harry Roesli, dkk. senantiasa stanby di sana. Waktu menjalani itu, jauh sekali pikiran dari keinginan berkonsep, bahkan hampir tak ada ruang untuk bertanya; kita ini ngapain sih? Pendeknya "asal" ada bunyi (musik), yang lain membuat atau mengolah rupa, sebagian lagi "merengkel jahe" (melakukan gerak tubuh), bahkan Tisna Sanjaya suatu ketika "hanya" membacakan salawat berulang-ulang yang kemudian diikuti yang lain hingga menggema di seluruh ruangan.

Sekali lagi, suatu gerakan tanpa pretensi dan, ya, tanpa tujuan! Tapi, kenapa bisa terus berulang, dan kenapa pula seperti tiba-tiba ketagihan untuk terus melakukannya? Itulah pertanyaannya.

Selidik punya selidik, setidaknya pada diri sendiri, pada saat itu segala cara sepertinya sudah mentok, tak ada lagi yang bisa diucapkan dan tak menemukan lagi cara ungkap yang diharapkan bisa didengar. Lewat "proses untuk menjadi" tiba-tiba saja itu semua terasa terlampiaskan, kadang-kadang seperti ekstase, atau paling tidak mirip-mirip orgasme.

Tak percaya lagi pada kata dan tak percaya lagi pada bentuk, antara lain menghasilkan pula tontonan "formal" seperti "Metateater: Dunia Tanpa Makna" (1990-1991) atau "Overdosis" tahun berikutnya, "Rakit" (1995), lebih jauh lagi "Puitika Sampah (1998); tapi pada akhirnya tetaplah ada kerinduan ke pola "jeprut" yang tanpa rencana tadi. Di tengah itu muncul "Ladang Mengerang" di halaman rumahnya Tisna Sanjaya, lantas yang relatif meluas adalah peristiwa Ruwatan Bumi di bulan April 1998. Berikutnya adalah gerakan menggugat YPK yang marak dalam rentang waktu hampir sebulan penuh. Harry Roesli sendiri pun "mentradisikan" kenyataan ini menjadi peristiwa musik 25 jam di CCF Bandung atau hal yang sama seperti dilakukannya di Teater Utan Kayu, dan di beberapa tempat lain.

**

Kembali ke Atas

Januari 2003

.

Herry Dim, Tanpa Judul, pinsil warna
dan cat air di atas kertas, 
21 X 23 cm, 1999
.
Catatan Kebudayaan
Esai
Cerita Pendek
Puisi-puisi

.

.

.

.

Kembali ke Halaman Muka

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

©

Bajo

Herry Dim

Pagi usai mandi dan belum lagi lengkap berpakaian, ayah memanggil dan mempersilakanku duduk di salah satu kursi. Piring di hadapannya kosong. Di piring lain satu dari enam keratan dadar telor telah hilang, menandakan ayah telah makan duluan. Satu telor didadar selebar mungkin lantas dipotong enam, itulah upacara tetap kami setiap pagi. Setiap kerat adalah jatah kami lima bersaudara, keratan keenam jatah untuk ayah. Sedang ibu lebih sering mengalah, jika ada cukuplah dengan kecap tapi tak jarang ia merasa cukup makan nasi dengan garam saja. Padahal ibuku cenderung bekerja lebih berat dari kami. Ia selalu yang paling awal bangun di pagi buta, mencuci pakaian, menyapu halaman, beres-beres warungnya, untuk kemudian biasanya terus ke pasar untuk belanja. Kalau sudah harus belanja ubi dan ketela pohon untuk bahan keripik dan penganan obi, maka tak jarang ia harus membawa beban tak kurang dari 30 kg. Malah kadang-kadang ia suka nekat, dari pasar Babatan ditempuhnya dengan berjalan kaki. Sejak aku duduk di kelas 3 SMA, praktis tak lagi bisa menemani ibu. Sebelumnya aku memang sempat menjadi jongos penjual ikan basah di celah jalan antara Pasar Baru dan Pasar Babatan. Pukul satu malam aku sudah menembus malam menuju pasar untuk menyambut datangnya truk-truk pembawa ikan. Pagi hari sekitar pkl. 05.30 ibuku biasanya mampir untuk mengajak belanja dan pulang bersama.

"Ada yang serius," begitu pikirku sambil mengambil nasi dan kemudian duduk. Itulah gaya ayahku jika hendak menyampaikan hal yang dianggapnya khusus. Sampai ke suapan nasi yang ketiga ayahku belum juga bicara, karena itu aku mencoba menengok. Tampak ia menatapku begitu dalam, tak lama kemudian ia menghela nafas.

"Hari ini kan pengumuman?" Tanyanya membuka pembicaraan.

"Ya, pih," jawabku masih dengan nasi di mulut.

"Ri, maafkan Apih.... harapan sih kamu bisa meneruskan sekolah, tapi maafkanlah Apih tak bisa memenuhi kewajiban sebagai ayah... Apih tak mampu membiayai lagi kamu untuk meneruskan kuliah."

Itu rupanya yang hendak disampaikannya. Sesungguhnya hal itu sudah saya perkirakan jauh-jauh hari, tapi terasa agak lain ketika pagi itu ayah mengucapkannya. Aku pun tak bisa berkata apa-apa selain menatap ayahku yang juga hanya menatapku tanpa melanjutkan lagi kata-katanya. Pada saat berpandangan itu pula tiba-tiba terasa ada ratusan kata-kata yang bermunculan di dalam kepala kami, tak pernah tercetuskan oleh mulut kami tapi kami langsung saling memahami.

Dengan pengantar kata-kata itulah aku melangkah ke sekolah untuk melihat pengumuman hasil ujian. Ada perasaan dalam hati bahwa tak perlulah pergi ke sana; sebagian karena tanpa dilihat pun aku sudah bisa memastikan bakal lulus, sementara perasaan yang sebagiannya lagi aku tak bisa merumuskannya. Entahlah yang sebagian itu perasaan macam apa, sehingga menimbulkan keenggananku untuk melangkah. Maka langkahku pun nyaris seperti langkah mesin yang berjalan dengan perasaan kosong, amat pelan tapi akhirnya tiba juga di sekolah.

Tiba di sana, kiranya suasana sudah begitu pikuk oleh teman-temanku yang sedang saling mengobral kegembiraan. Baru saja melangkah hendak melewati gerbang, tiba-tiba kulihat semburan air dari ember yang menyiram salah satu teman yang berlari ke arahku. Tak jauh dari itu kulihat dan kudengar pula teman-teman perempuan yang menjerit-jerit kegirangan di depan papan pengumuman.

Aku tak melanjutkan langkahku melewati gerbang, melainkan berbalik dan kembali pulang.

"Lulus?" Tanya ayahku setibaku kembali di rumah.

"Lulus, Pih," jawabku dengan senyum yang kubuat-buat agar membahagiakan ayah.

"Syukurlah, bagaimana nilainya?" Tanya ayah lagi.

"Ijazahnya baru dibagikan lusa hari Senin," jawabku menebak-nebak karena sesungguhnya aku tak tahu kapan ijazah itu dibagikan, bahkan boleh jadi sesungguhnya hari itu pun sudah dibagikan.

"Tadi tak lama setelah kamu pergi, ada mahasiswa yang mencari indekosan ke sini. Apih berpikir bagaimana kalau kamu pindah ke atas, dan kamarmu disewakan...... Si Amih memang perlu tambahan modal serta bayaran sekolah adik-adikmu, tapi separonya mungkin bisa kamu pakai untuk daftar ke perguruan tinggi," urai ayahku di tempat duduk yang sama dengan ketika ia bicara pagi hari tadi.

"Terserah Apih saja, memang berapa uang sewanya?" Kataku sambil balik bertanya.

"Dia hanya perlu tinggal sebulan saja sebelum paviliun yang disewanya selesai dibenahi, seperti umumnya sewa sebulan itu 12.000 rupiah, tapi cukup kan untuk pendaftaran, kamu kira-kira mau daftar ke mana?"

"Biaya pendaftaran itu hanya 1.600 rupiah, Pih, tapi andai diterima lantas uang kuliahnya dari mana?"

"Iya, ya...," ayahku tampak tercenung dan kemudian lanjutnya "Atau kamu ada rencana atau mau apa, Apih bisa menyisihkan dari uang sewa itu untuk kamu."

**

Kembali ke Atas


 

Januari 2003

.

Herry Dim, Tanpa Judul, pinsil warna
dan cat air di atas kertas, 
21 X 23 cm, 1999
.
Catatan Kebudayaan
Esai
Cerita Pendek
Puisi-puisi

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Kembali ke Halaman Muka

.

.

.

.

.

Evi Idawati

 

Melayang Ruh Sukma Melayang

 

nasib yang mempertemukan kita keliru menafsirkan

coretan takdir di tapakmu

lapang batu halaman terbuka

tak terbaca sedikit pun catatan tentang kita

namun semua teryakini bahwa kita harus menepi

mengucilkan diri antara dinding yang terbangun dari gelap

liku lorong yang membuatmu tertunduk

engkau semakin dalam membenamkan mukamu

di sumur yang kau gali dari kesakitan

memang kita tak harus menatap

bukankah batin menjadi mata menembus dunia?

butalah buta dirimu dalam lingkaran khayal

"telah menjemputku keabadian"

kudengar teriakkan itu

putus asa di tirai kekalutan

engkau terbang melayangkan ruh

sukma tertekan

 

Jogja, 2002

 

South of the Sea, Juli

 

memandang laut berpayung batu

pandan dan ketapang

buih menyentuh kakiku

assalamuallaikum

                air

                batu

                ikan

                pasir

                dan angin

apa kabar?

hari ini aku datang

melihat angin menggambar riak air

sementara camar mengepakkan sayap

berpesta dengan ombak

mengantar ikan di paruh lapar

tenang di tengah laut

keras menghantam pantai

gemuruh suara

hembusan nafasmu

air hidup dalam riak-riak

seakan paus terbang dan menyelam

seribu kaki buih merambat di pasir putih

 

Sundak, 2002

 

 

South of the Sea, Juli

 

memandang laut berpayung batu

pandan dan ketapang

buih menyentuh kakiku

assalamuallaikum

                air

                batu

                ikan

                pasir

                dan angin

apa kabar?

hari ini aku datang

melihat angin menggambar riak air

sementara camar mengepakkan sayap

berpesta dengan ombak

mengantar ikan di paruh lapar

tenang di tengah laut

keras menghantam pantai

gemuruh suara

hembusan nafasmu

air hidup dalam riak-riak

seakan paus terbang dan menyelam

seribu kaki buih merambat di pasir putih

 

Sundak, 2002

 

 

South of the Sea, Juli

 

memandang laut berpayung batu

pandan dan ketapang

buih menyentuh kakiku

assalamuallaikum

                air

                batu

                ikan

                pasir

                dan angin

apa kabar?

hari ini aku datang

melihat angin menggambar riak air

sementara camar mengepakkan sayap

berpesta dengan ombak

mengantar ikan di paruh lapar

tenang di tengah laut

keras menghantam pantai

gemuruh suara

hembusan nafasmu

air hidup dalam riak-riak

seakan paus terbang dan menyelam

seribu kaki buih merambat di pasir putih

 

Sundak, 2002

 

 

Malam Ini, Sepasang Lilin Merah Menyala

 

memandang nyala lilin dari hamparan rumput dadamu

seperti api membakar ilalang di savana

menari di hembus angin

bergoyang antara rose, sedap malam dan camelia

sementara detak jantungmu memenuhi gendang telingaku

irama merdu lagukan cinta dan janji setia

malam ini, sepasang lilin merah menyala

ada upacara tanpa melati

di sebuah kamar bernama hati

jendela masih terbuka

hembuskan dingin malam

melewati tirai

lelapkan aku dalam dekapan

 

malam ini, sepasang lilin merah menyala

tak ada yang meniup

hingga habis batang demi batang

menjelang fajar memulai hari

menyapa matahari untuk kembali

malam ini, sepasang lilin merah menyala lagi

 

Jogja, Juni 2002

 

 

Evi Idawati  lahir di Demak, 9 Desember 1973. Karyanya berupa cerpen, puisi, dan esai pernah dimuat beberapa media massa tanah air. Di samping sebagai aktris teater dan sinetron, ia juga menulis beberapa skenario. Puisi-puisinya termuat dalam antologi bersama antara lain Lirik-lirik Kemenangan (1993), Antologi Penyair Jateng (1993), Ketika Layar Turun (1994), Zamrud Katulistiwa (1997), Embun Tajali (2000), Filantrofi (2001), Antologi Akar Rumput (2002). Pengantin Sepi (2002) adalah antologi tunggalnya yang pertama.

 

 

 

 

 

 

 

Putu Vivi Lestari

 

 

CABO

                                                I

                                : kado ultah buat At.

 

Di bulan Juni

                yang resah

selalu kata-kataku

                sesat

entah di rambutmu

di ujung suaramu

atau di liku tubuhmu

 

Aku tahu

sebuah legenda kaca

(kesetiaan yang tak selesai)

telah usai.

 

Kau bukan kaisar Shahjahan

                di penjara masa tua

yang tersalib

                dinding pualam

(oleh cinta ataukah sesak birahi)

 

Bukan pula Kalindi Kunj

dimana mata air

menyindir kesendirianku

: “Janda yang haus

                tersesat di belantara

                                tanpa rimba”.

 

Di bulan Juni

                yang resah

senja gelisah

sejarah memaku pintu

delapan sisi kubah

kaca-kaca bergambar

burung merak terlunta

terlupa lorong

                Kalyana Manta

 

Meski pilar-pilar menopang

runtuhan sesaji

                para dewa

barisan restu

                nenek moyang

tetap saja

aku tergagap

warna merah

                di belahan rambut

sebuah ikatan ataukah pengabdian

                                      tanpa batas?

 

Di bulan Juni

                yang resah

sejarah cemas

                bergegas

                menerka musim

: “Kenapa setia tak menunggu

                                di ujung ranjang”.

 

 

                                                II

                                skenario sebuah pantai

 

Ada camar

                yang sesat

saat langit

                mengirim

senja yang lain

di mataku

antara angin masa lalu

                dan hari ini

buih ombak

mendesah lebih riuh

(mungkin suaramu

                atau nafasmu)

di dadaku

antara renda bermotif bunga

dengan lapisan busa halus

antara bercak

                tanganmu

yang tertinggal 10 tahun

                                silam

 

Ada camar

                tersesat

saat Mania Giorgio Armani

mengirim wewangian

                rempah

 

di leherku

atau Christian Dior

menyelipkan

                dedaunan luruh

                di kulitku

 

Di pantai yang jauh

sebuah dosa indah

terselip

                di lipatan bibirku

dan di ujung

                rambutku

yang gemetar

                kata-kata hilang makna

“puasaku batal

                hari ini”

 

 

 

Putu Vivi Lestari lahir di Tabanan, Bali, 14 November 1981. Mahasiswi Fakultas Ekonomi Universitas Udayana semester VII. Pernah memenangkan 10 puisi terbaik antarpelajar SLTA tingkat nasional yang diadakan oleh Jineng Smasta, 1999. Juara II Lomba Cipta Puisi dalam Pekan Orientasi Kelautan, 1999 dan 9 puisi terbaik Art & Peace, 1999. Puisinya juga pernah dimuat di harian Bali Post, Bali Echo, Kompas, Suara Merdeka, Jurnal Kebudayaan Kalam, Jurnal Puisi, dan Majalah Coast Lines.

 

 

Syilfi Purnama Sari

 

Solilokui Kelam

 

malam carut marut kata puisi

dingin angin pada kukuwaktu

mengendap butir-butir syair

udara hampa dan rintih lagu lusuh

nyanyian roh hitam merajut kelam.

 

apakah tiap desah mesti dihayati

seperti kematian lereng bukit

dan cinta burung hantu

melenguhkan kepahitan demi kepahitan

dari ujung ke ujung malam?

 

Juni, 1998

 

 

 

Fragmen Surat

 

suratku yang jatuh di pesisiran

tak cukupkah kau mati mengenaskan?

 

bila pucuk buih berjalan lunglai

lalu awanawan menangisi tebing

akankah kau meringis penuh duri?

 

kepada suratku yang bergenang air mata

sayumagu pematang derma melegenda

memuntahkan gelinjang ombak yang membisu

dalam tebaran badai kebengisan

 

suratku yang telah tertanda oleh ibunda

dengan tinta darah kekecewaan

tanpa sembah tangkisan senja

melalui jalurjalur terjangan cakrawala

 

dengan pemimpi yang bersolek

atau si lebah bergantung termenung

berkaca dalam gemercik kata sang kelaparan

 

suratku yang naas memilukan

tak maukah kau bertatih semedi?

menjernihkan pikir yang berair mata

meluaskan patri darah kekecewaan

untuk satu ibunda

yang menanti kelaparan mengeja

di tanah perjanjian air dan awan.

 

Maret 2001

 

 

 

Percakapan Sunyi

 

gerimis menghimpit sepi

dan sepotong senja menghayati kekhusuan

kelengangan adalah cairan kata-kata beku

ada percakapan angan dan bayang-bayang silam

malam penuh rahasia

menggoreskan makna yang dalam

hingga mimpi mencekam

menyetubuhi perempuan

sunyi

seperti burung-burung kegalauan

menulis syair-syair getir

tak tahu menyimpan dan menyembunyikan

isyarat keresahan demi keresahan

barangkali memang beginilah akhirnya

mengeja sunyi yang terus mengalir

pada tiap helai rambutmu.

 

Desember, 1999

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Penyiar Kehilangan Bulan

 

kini sajak dilanda duka

karena langit melepas cakrawala

dan penyair kehilangan bulan

angannya bertatih-tatih

menggapai badai penghabisan

yang semakin jauh

 

pulau yang luka dan meratap

wajahnya kuyu dan letih

menyesali kebenaran syair

yang disangkal para sihir

negeri ini

 

jangan patah penyairku

karena mimpi-mimpi adalah teman setia

dan kegelisahan adalah mutiara

bekal kita berlayar

ke tengah samudera

yang lebih sunyi.

 

Juli, 2000

 

 

 

Syilfi Purnama Sari lahir di Bandung, 16 Februari 1984. Menulis puisi sejak kelas 4 Sekolah Dasar. Karya-karyanya dimuat dalam antologi Datang dari Masa Depan (2000). Pernah pula dimuat di beberapa media seperti Harian Pikiran Rakyat, Bandung Pos, Horison, dan Gala Media. Prestasi yang pernah diraihnya adalah Juara II Lomba Menulis Surat Pada Sastrawan yang diadakan oleh Yayasan Jendela Seni Bandung tahun 2000.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sajak-sajak

 

Ita Dian Novita

 

Eksekusi Perjalanan

 

kusemai hujan

di setiap eksekusi perjalanan

dengus kuda-kuda tua

mengamini keretak tanah merah

 

pernahkah kita bertanya

tentang keranda yang menjadi istana

tentang kemboja yang enggan lagi

menggugurkan bunganya di nisan waktu

dan tentang bayang kita sendiri

 

Pintu

 

tak perlu kauketuk pintuku

karena daunnya adalah kita

tak perlu kauketuk pintuku

karena kayu kayunya adalah kita

tak perlu kauketuk pintuku

karena deritnya adalah kita

tak perlu kauketuk pintuku

karena kita adalah pintu itu

 

 

 

Ita Dian Novita dilahirkan di Bondowoso, 18 November 1977. Alumnus Universitas Negeri Yogyakarta, Fakultas Bahasa dan Seni. Puisi-puisinya dimuat di berbagai media, antara lain Horison, Republika, dan Jurnal Puisi, dimuat juga dalam antologi bersama Surat Putih dan Filantropi. Beberapa tulisan dimuat di Kompas, Koran Tempo, dan Kedaulatan Rakyat. Saat ini tinggal di Yog­ya­karta.

 

Kembali ke Atas

 

Horisononline dirancang/ diolah oleh Herry Dim©
Majalah Sastra Horison: Jl. Galur Sari II No. 54 - Utan Kayu Selatan - Jakarta 13120 - Tlp. 062 21 858 3437 -  Email [email protected]