Evi Idawati
Melayang Ruh Sukma Melayang
nasib yang mempertemukan kita keliru menafsirkan
coretan takdir di tapakmu
lapang batu halaman terbuka
tak terbaca sedikit pun catatan tentang kita
namun semua teryakini bahwa kita harus menepi
mengucilkan diri antara dinding yang terbangun dari
gelap
liku lorong yang membuatmu tertunduk
engkau semakin dalam membenamkan mukamu
di sumur yang kau gali dari kesakitan
memang kita tak harus menatap
bukankah batin menjadi mata menembus dunia?
butalah buta dirimu dalam lingkaran khayal
"telah menjemputku keabadian"
kudengar teriakkan itu
putus asa di tirai kekalutan
engkau terbang melayangkan ruh
sukma tertekan
Jogja,
2002
South of the Sea, Juli
memandang laut berpayung batu
pandan dan ketapang
buih menyentuh kakiku
assalamuallaikum
air
batu
ikan
pasir
dan
angin
apa kabar?
hari ini aku datang
melihat angin menggambar riak air
sementara camar mengepakkan sayap
berpesta dengan ombak
mengantar ikan di paruh lapar
tenang di tengah laut
keras menghantam pantai
gemuruh suara
hembusan nafasmu
air hidup dalam riak-riak
seakan paus terbang dan menyelam
seribu kaki buih merambat di pasir putih
Sundak,
2002
South of the Sea, Juli
memandang laut berpayung batu
pandan dan ketapang
buih menyentuh kakiku
assalamuallaikum
air
batu
ikan
pasir
dan
angin
apa kabar?
hari ini aku datang
melihat angin menggambar riak air
sementara camar mengepakkan sayap
berpesta dengan ombak
mengantar ikan di paruh lapar
tenang di tengah laut
keras menghantam pantai
gemuruh suara
hembusan nafasmu
air hidup dalam riak-riak
seakan paus terbang dan menyelam
seribu kaki buih merambat di pasir putih
Sundak,
2002
South of the Sea, Juli
memandang laut berpayung batu
pandan dan ketapang
buih menyentuh kakiku
assalamuallaikum
air
batu
ikan
pasir
dan
angin
apa kabar?
hari ini aku datang
melihat angin menggambar riak air
sementara camar mengepakkan sayap
berpesta dengan ombak
mengantar ikan di paruh lapar
tenang di tengah laut
keras menghantam pantai
gemuruh suara
hembusan nafasmu
air hidup dalam riak-riak
seakan paus terbang dan menyelam
seribu kaki buih merambat di pasir putih
Sundak,
2002
Malam Ini, Sepasang Lilin Merah Menyala
memandang nyala lilin dari hamparan rumput dadamu
seperti api membakar ilalang di savana
menari di hembus angin
bergoyang antara rose, sedap malam dan camelia
sementara detak jantungmu memenuhi gendang telingaku
irama merdu lagukan cinta dan janji setia
malam ini, sepasang lilin merah menyala
ada upacara tanpa melati
di sebuah kamar bernama hati
jendela masih terbuka
hembuskan dingin malam
melewati tirai
lelapkan aku dalam dekapan
malam ini, sepasang lilin merah menyala
tak ada yang meniup
hingga habis batang demi batang
menjelang fajar memulai hari
menyapa matahari untuk kembali
malam ini, sepasang lilin merah menyala lagi
Jogja,
Juni 2002
Evi Idawati lahir di Demak, 9 Desember 1973. Karyanya
berupa cerpen, puisi, dan esai pernah dimuat beberapa media massa tanah
air. Di samping sebagai aktris teater dan sinetron, ia juga menulis
beberapa skenario. Puisi-puisinya termuat dalam antologi bersama antara
lain Lirik-lirik Kemenangan (1993), Antologi Penyair Jateng (1993), Ketika Layar Turun (1994), Zamrud Katulistiwa (1997), Embun Tajali (2000), Filantrofi (2001), Antologi Akar Rumput (2002). Pengantin Sepi (2002) adalah antologi tunggalnya yang
pertama.
Putu Vivi Lestari
CABO
I
: kado ultah buat At.
Di bulan Juni
yang
resah
selalu kata-kataku
sesat
entah di rambutmu
di ujung suaramu
atau di liku tubuhmu
Aku tahu
sebuah legenda kaca
(kesetiaan yang tak selesai)
telah usai.
Kau bukan kaisar Shahjahan
di
penjara masa tua
yang tersalib
dinding
pualam
(oleh cinta ataukah sesak birahi)
Bukan pula Kalindi Kunj
dimana mata air
menyindir kesendirianku
: “Janda yang haus
tersesat
di belantara
tanpa
rimba”.
Di bulan Juni
yang
resah
senja gelisah
sejarah memaku pintu
delapan sisi kubah
kaca-kaca bergambar
burung merak terlunta
terlupa lorong
Kalyana
Manta
Meski pilar-pilar menopang
runtuhan sesaji
para
dewa
barisan restu
nenek
moyang
tetap saja
aku tergagap
warna merah
di
belahan rambut
sebuah ikatan ataukah pengabdian
tanpa batas?
Di bulan Juni
yang
resah
sejarah cemas
bergegas
menerka
musim
: “Kenapa setia tak menunggu
di
ujung ranjang”.
II
skenario sebuah pantai
Ada camar
yang
sesat
saat langit
mengirim
senja yang lain
di mataku
antara angin masa lalu
dan
hari ini
buih ombak
mendesah lebih riuh
(mungkin suaramu
atau
nafasmu)
di dadaku
antara renda bermotif bunga
dengan lapisan busa halus
antara bercak
tanganmu
yang tertinggal 10 tahun
silam
Ada camar
tersesat
saat Mania Giorgio Armani
mengirim wewangian
rempah
di leherku
atau Christian Dior
menyelipkan
dedaunan
luruh
di
kulitku
Di pantai yang jauh
sebuah dosa indah
terselip
di
lipatan bibirku
dan di ujung
rambutku
yang gemetar
kata-kata
hilang makna
“puasaku batal
hari ini”
Putu Vivi Lestari lahir di Tabanan, Bali, 14 November
1981. Mahasiswi Fakultas Ekonomi Universitas Udayana semester VII. Pernah
memenangkan 10 puisi terbaik antarpelajar SLTA tingkat nasional yang
diadakan oleh Jineng Smasta, 1999. Juara II Lomba Cipta Puisi dalam Pekan Orientasi
Kelautan, 1999 dan 9 puisi terbaik Art & Peace, 1999. Puisinya juga
pernah dimuat di harian Bali
Post, Bali Echo, Kompas, Suara Merdeka, Jurnal
Kebudayaan Kalam, Jurnal Puisi, dan Majalah
Coast Lines.
Syilfi Purnama Sari
Solilokui Kelam
malam carut marut kata puisi
dingin angin pada kukuwaktu
mengendap butir-butir syair
udara hampa dan rintih lagu lusuh
nyanyian roh hitam merajut kelam.
apakah tiap desah mesti dihayati
seperti kematian lereng bukit
dan cinta burung hantu
melenguhkan kepahitan demi kepahitan
dari ujung ke ujung malam?
Juni, 1998
Fragmen Surat
suratku yang jatuh di pesisiran
tak cukupkah kau mati mengenaskan?
bila pucuk buih berjalan lunglai
lalu awanawan menangisi tebing
akankah kau meringis penuh duri?
kepada suratku yang bergenang air mata
sayumagu pematang derma melegenda
memuntahkan gelinjang ombak yang membisu
dalam tebaran badai kebengisan
suratku yang telah tertanda oleh ibunda
dengan tinta darah kekecewaan
tanpa sembah tangkisan senja
melalui jalurjalur terjangan cakrawala
dengan pemimpi yang bersolek
atau si lebah bergantung termenung
berkaca dalam gemercik kata sang kelaparan
suratku yang naas memilukan
tak maukah kau bertatih semedi?
menjernihkan pikir yang berair mata
meluaskan patri darah kekecewaan
untuk satu ibunda
yang menanti kelaparan mengeja
di tanah perjanjian air dan awan.
Maret 2001
Percakapan Sunyi
gerimis menghimpit sepi
dan sepotong senja menghayati kekhusuan
kelengangan adalah cairan kata-kata beku
ada percakapan angan dan bayang-bayang silam
malam penuh rahasia
menggoreskan makna yang dalam
hingga mimpi mencekam
menyetubuhi perempuan
sunyi
seperti burung-burung kegalauan
menulis syair-syair getir
tak tahu menyimpan dan menyembunyikan
isyarat keresahan demi keresahan
barangkali memang beginilah akhirnya
mengeja sunyi yang terus mengalir
pada tiap helai rambutmu.
Desember, 1999
Penyiar Kehilangan Bulan
kini sajak dilanda duka
karena langit melepas cakrawala
dan penyair kehilangan bulan
angannya bertatih-tatih
menggapai badai penghabisan
yang semakin jauh
pulau yang luka dan meratap
wajahnya kuyu dan letih
menyesali kebenaran syair
yang disangkal para sihir
negeri ini
jangan patah penyairku
karena mimpi-mimpi adalah teman setia
dan kegelisahan adalah mutiara
bekal kita berlayar
ke tengah samudera
yang lebih sunyi.
Juli, 2000
Syilfi Purnama Sari
lahir di Bandung, 16 Februari 1984. Menulis puisi sejak kelas 4 Sekolah
Dasar. Karya-karyanya dimuat dalam antologi Datang dari Masa Depan (2000). Pernah pula dimuat di beberapa media seperti Harian
Pikiran Rakyat, Bandung Pos, Horison, dan
Gala Media. Prestasi yang pernah
diraihnya adalah Juara II Lomba Menulis Surat Pada Sastrawan yang diadakan
oleh Yayasan Jendela Seni Bandung tahun 2000.
Sajak-sajak
Ita Dian Novita
Eksekusi Perjalanan
kusemai hujan
di setiap eksekusi perjalanan
dengus kuda-kuda tua
mengamini keretak tanah merah
pernahkah kita bertanya
tentang keranda yang menjadi istana
tentang kemboja yang enggan lagi
menggugurkan bunganya di nisan waktu
dan tentang bayang kita sendiri
Pintu
tak perlu kauketuk pintuku
karena daunnya adalah kita
tak perlu kauketuk pintuku
karena kayu kayunya adalah kita
tak perlu kauketuk pintuku
karena deritnya adalah kita
tak perlu kauketuk pintuku
karena kita adalah pintu itu
Ita Dian Novita dilahirkan di Bondowoso, 18 November
1977. Alumnus Universitas Negeri Yogyakarta, Fakultas Bahasa dan Seni.
Puisi-puisinya dimuat di berbagai media, antara lain Horison, Republika, dan Jurnal Puisi,
dimuat juga dalam antologi bersama Surat Putih dan Filantropi. Beberapa
tulisan dimuat di Kompas, Koran Tempo, dan Kedaulatan Rakyat.
Saat ini tinggal di Yogyakarta.
Kembali ke Atas
|