Februari 2003
®


Herry Dim, Tanpa Judul, pinsil warna
dan cat air di atas kertas, 
21 X 23 cm, 1999
.
Catatan Kebudayaan
Esai
Cerita Pendek
Puisi-puisi

.

.

.

.

Kembali ke Halaman Muka

.

.

.

.

©

 

 

Bermula dari Plaosan
(Catatan Kebudayaan untuk Anak-anak)

Herry Dim

Candi Plaosan, 2 Januari 2000, petang hari. Kami yang teridiri dari penulis dan Ine Arini, Rendra dan Ken Zuraida, Eep Saefulloh Fatah dan Aci, dan putra-putra kami berjalan-jalan ke candi tersebut seperti umumnya pelancong. Tanpa pretensi kesejarahan apalagi maksud studi arkeologis. Tanpa romantisme eksotis untuk mengagung-agungkan kehebatan masa lalu secara berlebihan. Dan hampir tanpa pengetahuan apapun tentang candi tersebut, kecuali kesan sekilas sebatas wujud fisik yang bisa kami (saya) tangkap, bahwa candi tersebut menunjukan hasil karya gabungan dari dua kepercayaan (Hindu - Budha). Fotokopi-an yang beredar dan dijual di sekitar candi menyebut religi yang mendasarinya adalah Budha Mahayana. Itu saja. Tak ada lagi selain melancong, malah seperti pelancong lain sesekali berpose berpotret bersama menggunakan kamera saku milik Rendra.

Cuaca agak mendung disertai rintik hujan. Alasan itu pula kami tak berlama-lama di halaman candi, melainkan segera naik tangga dan memasuki ruang dalam candi utama yang diapit candi besar lainnya di kiri dan kanan. Di dalam candi ternyata terdapat tiga buah kamar, masing-masing kamar memiliki tiga buah arca yang umumnya telah rusak (dirusak tangan jahil, pen.), tanpa kepala, dan didapat keterangan di antaranya ada yang telah hilang dicuri.

Teks fotokopian menyebutkan enam arca yang tersisa adalah Manjuçri dan Sarwani Waranawis Kambhi yang berada di kamar tengah, Wajrapani dan Awalokiteswara di kamar utara, Samanhabadra dan Maetreya di kamar selatan. Teks yang sama menduga bahwa tiga arca yang hilang adalah arca Sang Budha yang terbuat dari perungu. Sementara dari teks "Formen und Stile: Asien" terbitan Taschen, Swiss, 1978/1994 yang bersumberkan kepada data Museum Pusat Jakarta, memperlihatkan bahwa arca-arca yang tersisa memiliki kesamaan tarikh pembuatan ataupun bentuknya dengan arca Bodhisattva Manjusri dan arca Syamatara.

Tapi baiklah, kebenaran arkeologis dan sejarah candi yang terletak di Dukuh Plaosan, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, itu tidaklah menjadi perhatian utama catatan ini. Yang hendak diketengahkan adalah "peristiwa kecil" yang tiba-tiba menjadi perhatian saya, bahkan terus menerus "mengganggu" hingga catatan ini di buat di Medio Februari 2000.

**

Kembali ke Atas

Februari 2003

.

Herry Dim, Tanpa Judul, pinsil warna
dan cat air di atas kertas, 
21 X 23 cm, 1999
.
Catatan Kebudayaan
Esai
Cerita Pendek
Puisi-puisi

.

.

.

.

Kembali ke Halaman Muka

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

©

 

Peristiwa Teroris 50 Jam di Bandung

Catatan Herry Dim

Tak kurang dari 53 penampil hadir mengisi acara (seni) 50 jam dari Jumat (12/10) pkl, 20.00 hingga Minggu (14/10) pkl. 22.00 di Rumah Nusantara, Bandung, yang diprakarsai Harry Roesli. Lepas dari perbedaan durasinya, peristiwa itu nyaris menjadi semacam "tradisi" di Bandung. Maka di balik peristiwa (seni) 50 jam, itu kiranya perlu sedikit kilas balik.

Tujuh tahun yang lalu, Juni 1994, adalah peristiwa (seni) 24 jam sebagai ungkapan keprihatian bersama terhadap peristiwa bredel tiga media (Tempo, Detik, dan Editor). Kami, Herry Dim, Dieter Mack, Ging Ginanjar, dan Harry Roesli, mengusap rasa solidaritas antar-sesama seniman; maka hadirlah Tisna Sanjaya, Tita, kawan-kawan sastrawan dari GSSTF Unpad, kawan-kawan jurnalis berbagai media, dll. Peristiwa pun berlangsung, muncul di sana satu istilah yang belakangan jadi populer: jeprut!

Model atau munculnya istilah jeprut, itu pun nisacaya bukanlah sesuatu yang tiba-tiba. Jauh lagi ke belakang, di masa pra-bredel adalah suasana "tenang terkendali" tapi sekaligus begitu mencekam, suasana yang begitu penuh ketakutan; jika hendak berujar mesti menelikung dan menekuk-tekuk dulu kata-kata hingga tak jelas, berekspresi seni pun seperti kehilangan kemungkinan serta kehilangan maknanya karena berhadapan dengan keadaan sekaligus kekuasaan yang begitu bebal dan degil. Maka, sepertinya ada sesuatu yang muncul dari bawah sadar, "persetanlah dengan bentuk (seni) karena hal itu sudah tak berguna lagi," begitulah kira-kira. Berkali-kali pula kami menjalani kegiatan yang kemudian oleh seorang kawan, Eddy Pohang, dinamai "proses untuk menjadi." Suatu kegiatan yang tak perlu kepanitiaan, tak perlu janji waktu, tak perlu mencatat siapa yang ikut dan siapa yang nonton, tak perlu pula memilah-pilah disiplin seni yang melatari, bahkan siapapun bisa masuk seketika itu.

Berkali-kali peristiwa itu berlangsung. Suatu ketika ada Andar Manik, berikutnya bisa saja menghilang. Demikian halnya Marintan, Arahma"jelug"yani, Ine Arini, Tisna Sanjaya, Tony Broer, Rachman Sabur, Soni Farid Maulana, Wawan S. Husin, dan belakangan Isa Perkasa, kawan dari gerbong, serta tentu saja beberapa orang seperti Erick Yusuf, Moro, Harry Roesli, dkk. senantiasa stanby di sana. Waktu menjalani itu, jauh sekali pikiran dari keinginan berkonsep, bahkan hampir tak ada ruang untuk bertanya; kita ini ngapain sih? Pendeknya "asal" ada bunyi (musik), yang lain membuat atau mengolah rupa, sebagian lagi "merengkel jahe" (melakukan gerak tubuh), bahkan Tisna Sanjaya suatu ketika "hanya" membacakan salawat berulang-ulang yang kemudian diikuti yang lain hingga menggema di seluruh ruangan.

Sekali lagi, suatu gerakan tanpa pretensi dan, ya, tanpa tujuan! Tapi, kenapa bisa terus berulang, dan kenapa pula seperti tiba-tiba ketagihan untuk terus melakukannya? Itulah pertanyaannya.

Selidik punya selidik, setidaknya pada diri sendiri, pada saat itu segala cara sepertinya sudah mentok, tak ada lagi yang bisa diucapkan dan tak menemukan lagi cara ungkap yang diharapkan bisa didengar. Lewat "proses untuk menjadi" tiba-tiba saja itu semua terasa terlampiaskan, kadang-kadang seperti ekstase, atau paling tidak mirip-mirip orgasme.

Tak percaya lagi pada kata dan tak percaya lagi pada bentuk, antara lain menghasilkan pula tontonan "formal" seperti "Metateater: Dunia Tanpa Makna" (1990-1991) atau "Overdosis" tahun berikutnya, "Rakit" (1995), lebih jauh lagi "Puitika Sampah (1998); tapi pada akhirnya tetaplah ada kerinduan ke pola "jeprut" yang tanpa rencana tadi. Di tengah itu muncul "Ladang Mengerang" di halaman rumahnya Tisna Sanjaya, lantas yang relatif meluas adalah peristiwa Ruwatan Bumi di bulan April 1998. Berikutnya adalah gerakan menggugat YPK yang marak dalam rentang waktu hampir sebulan penuh. Harry Roesli sendiri pun "mentradisikan" kenyataan ini menjadi peristiwa musik 25 jam di CCF Bandung atau hal yang sama seperti dilakukannya di Teater Utan Kayu, dan di beberapa tempat lain.

**

Kembali ke Atas

Februari 2003

.

Herry Dim, Tanpa Judul, pinsil warna
dan cat air di atas kertas, 
21 X 23 cm, 1999
.
Catatan Kebudayaan
Esai
Cerita Pendek
Puisi-puisi

.

.

.

.

Kembali ke Halaman Muka

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

©

Bajo

Herry Dim

Pagi usai mandi dan belum lagi lengkap berpakaian, ayah memanggil dan mempersilakanku duduk di salah satu kursi. Piring di hadapannya kosong. Di piring lain satu dari enam keratan dadar telor telah hilang, menandakan ayah telah makan duluan. Satu telor didadar selebar mungkin lantas dipotong enam, itulah upacara tetap kami setiap pagi. Setiap kerat adalah jatah kami lima bersaudara, keratan keenam jatah untuk ayah. Sedang ibu lebih sering mengalah, jika ada cukuplah dengan kecap tapi tak jarang ia merasa cukup makan nasi dengan garam saja. Padahal ibuku cenderung bekerja lebih berat dari kami. Ia selalu yang paling awal bangun di pagi buta, mencuci pakaian, menyapu halaman, beres-beres warungnya, untuk kemudian biasanya terus ke pasar untuk belanja. Kalau sudah harus belanja ubi dan ketela pohon untuk bahan keripik dan penganan obi, maka tak jarang ia harus membawa beban tak kurang dari 30 kg. Malah kadang-kadang ia suka nekat, dari pasar Babatan ditempuhnya dengan berjalan kaki. Sejak aku duduk di kelas 3 SMA, praktis tak lagi bisa menemani ibu. Sebelumnya aku memang sempat menjadi jongos penjual ikan basah di celah jalan antara Pasar Baru dan Pasar Babatan. Pukul satu malam aku sudah menembus malam menuju pasar untuk menyambut datangnya truk-truk pembawa ikan. Pagi hari sekitar pkl. 05.30 ibuku biasanya mampir untuk mengajak belanja dan pulang bersama.

"Ada yang serius," begitu pikirku sambil mengambil nasi dan kemudian duduk. Itulah gaya ayahku jika hendak menyampaikan hal yang dianggapnya khusus. Sampai ke suapan nasi yang ketiga ayahku belum juga bicara, karena itu aku mencoba menengok. Tampak ia menatapku begitu dalam, tak lama kemudian ia menghela nafas.

"Hari ini kan pengumuman?" Tanyanya membuka pembicaraan.

"Ya, pih," jawabku masih dengan nasi di mulut.

"Ri, maafkan Apih.... harapan sih kamu bisa meneruskan sekolah, tapi maafkanlah Apih tak bisa memenuhi kewajiban sebagai ayah... Apih tak mampu membiayai lagi kamu untuk meneruskan kuliah."

Itu rupanya yang hendak disampaikannya. Sesungguhnya hal itu sudah saya perkirakan jauh-jauh hari, tapi terasa agak lain ketika pagi itu ayah mengucapkannya. Aku pun tak bisa berkata apa-apa selain menatap ayahku yang juga hanya menatapku tanpa melanjutkan lagi kata-katanya. Pada saat berpandangan itu pula tiba-tiba terasa ada ratusan kata-kata yang bermunculan di dalam kepala kami, tak pernah tercetuskan oleh mulut kami tapi kami langsung saling memahami.

Dengan pengantar kata-kata itulah aku melangkah ke sekolah untuk melihat pengumuman hasil ujian. Ada perasaan dalam hati bahwa tak perlulah pergi ke sana; sebagian karena tanpa dilihat pun aku sudah bisa memastikan bakal lulus, sementara perasaan yang sebagiannya lagi aku tak bisa merumuskannya. Entahlah yang sebagian itu perasaan macam apa, sehingga menimbulkan keenggananku untuk melangkah. Maka langkahku pun nyaris seperti langkah mesin yang berjalan dengan perasaan kosong, amat pelan tapi akhirnya tiba juga di sekolah.

Tiba di sana, kiranya suasana sudah begitu pikuk oleh teman-temanku yang sedang saling mengobral kegembiraan. Baru saja melangkah hendak melewati gerbang, tiba-tiba kulihat semburan air dari ember yang menyiram salah satu teman yang berlari ke arahku. Tak jauh dari itu kulihat dan kudengar pula teman-teman perempuan yang menjerit-jerit kegirangan di depan papan pengumuman.

Aku tak melanjutkan langkahku melewati gerbang, melainkan berbalik dan kembali pulang.

"Lulus?" Tanya ayahku setibaku kembali di rumah.

"Lulus, Pih," jawabku dengan senyum yang kubuat-buat agar membahagiakan ayah.

"Syukurlah, bagaimana nilainya?" Tanya ayah lagi.

"Ijazahnya baru dibagikan lusa hari Senin," jawabku menebak-nebak karena sesungguhnya aku tak tahu kapan ijazah itu dibagikan, bahkan boleh jadi sesungguhnya hari itu pun sudah dibagikan.

"Tadi tak lama setelah kamu pergi, ada mahasiswa yang mencari indekosan ke sini. Apih berpikir bagaimana kalau kamu pindah ke atas, dan kamarmu disewakan...... Si Amih memang perlu tambahan modal serta bayaran sekolah adik-adikmu, tapi separonya mungkin bisa kamu pakai untuk daftar ke perguruan tinggi," urai ayahku di tempat duduk yang sama dengan ketika ia bicara pagi hari tadi.

"Terserah Apih saja, memang berapa uang sewanya?" Kataku sambil balik bertanya.

"Dia hanya perlu tinggal sebulan saja sebelum paviliun yang disewanya selesai dibenahi, seperti umumnya sewa sebulan itu 12.000 rupiah, tapi cukup kan untuk pendaftaran, kamu kira-kira mau daftar ke mana?"

"Biaya pendaftaran itu hanya 1.600 rupiah, Pih, tapi andai diterima lantas uang kuliahnya dari mana?"

"Iya, ya...," ayahku tampak tercenung dan kemudian lanjutnya "Atau kamu ada rencana atau mau apa, Apih bisa menyisihkan dari uang sewa itu untuk kamu."

**

Kembali ke Atas

Februari 2003

.

Herry Dim, Tanpa Judul, pinsil warna
dan cat air di atas kertas, 
21 X 23 cm, 1999
.
Catatan Kebudayaan
Esai
Cerita Pendek
Puisi-puisi

.

.

.

.

Kembali ke Halaman Muka

.

.

.

.

.

.

©

Agus R. Sarjono
Sajak Palsu

Selamat pagi pak, selamat pagi bu, ucap anak sekolah
dengan sapaan palsu. Lalu merekapun belajar
sejarah palsu dari buku-buku palsu. Di akhir sekolah
mereka terperangah melihat hamparan nilai mereka
yang palsu. Karena tak cukup nilai, maka berdatanganlah
mereka ke rumah-rumah bapak dan ibu guru
untuk menyerahkan amplop berisi perhatian
dan rasa hormat palsu. Sambil tersipu palsu
dan membuat tolakan-tolakan palsu, akhirnya pak guru
dan bu guru terima juga amplop itu sambil berjanji palsu
untuk mengubah nilai-nilai palsu dengan
nilai-nilai palsu yang baru. Masa sekolah
demi masa sekolah berlalu, merekapun lahir
sebagai ekonom-ekonom palsu, ahli hukum palsu,
ahli pertanian palsu, insinyur palsu. Sebagian
menjadi guru, ilmuwan atau seniman palsu. Dengan gairah tinggi
mereka menghambur ke tengah pembangunan palsu
dengan ekonomi palsu sebagai panglima palsu. Mereka saksikan
ramainya perniagaan palsu dengan ekspor
dan impor palsu yang mengirim dan mendatangkan
berbagai barang kelontong kualitas palsu.

Dan bank-bank palsu dengan giat menawarkan bonus
dan hadiah-hadiah palsu tapi diam-diam meminjam juga
pinjaman dengan ijin dan surat palsu. Masyarakat pun berniaga
dengan uang palsu yang dijamin devisa palsu. Maka
uang-uang asing menggertak dengan kurs palsu
sehingga semua blingsatan dan terperosok krisis
yang meruntuhkan pemerintahan palsu ke dalam
nasib buruk palsu. Lalu orang-orang palsu
meneriakkan kegembiraan palsu dan mendebatkan
gagasan-gagasan palsu di tengah seminar
dan dialog-dialog palsu menyambut tibanya
demokrasi palsu yang berkibar-kibar begitu nyaring
dan palsu.

(1998)

Kembali ke Atas

Horisononline dirancang/ diolah oleh Herry Dim©
Majalah Sastra Horison: Jl. Galur Sari II No. 54 - Utan Kayu Selatan - Jakarta 13120 - Tlp. 062 21 858 3437 -  Email [email protected]