Februari 2003
.
Herry Dim, Tanpa Judul, pinsil
warna
dan cat air di atas kertas,
21 X 23 cm, 1999
.
Catatan Kebudayaan
Esai
Cerita Pendek
Puisi-puisi
.
.
.
.
Kembali
ke Halaman Muka
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
©
|
Peristiwa Teroris 50 Jam di Bandung
Catatan Herry Dim
Tak kurang dari 53 penampil hadir mengisi acara (seni)
50 jam dari Jumat (12/10) pkl, 20.00 hingga Minggu (14/10) pkl. 22.00 di
Rumah Nusantara, Bandung, yang diprakarsai Harry Roesli. Lepas dari perbedaan
durasinya, peristiwa itu nyaris menjadi semacam "tradisi" di
Bandung. Maka di balik peristiwa (seni) 50 jam, itu kiranya perlu sedikit
kilas balik.
Tujuh tahun yang lalu, Juni 1994, adalah peristiwa (seni)
24 jam sebagai ungkapan keprihatian bersama terhadap peristiwa bredel tiga
media (Tempo, Detik, dan Editor). Kami, Herry Dim, Dieter Mack, Ging Ginanjar,
dan Harry Roesli, mengusap rasa solidaritas antar-sesama seniman; maka
hadirlah Tisna Sanjaya, Tita, kawan-kawan sastrawan dari GSSTF Unpad, kawan-kawan
jurnalis berbagai media, dll. Peristiwa pun berlangsung, muncul di sana
satu istilah yang belakangan jadi populer: jeprut!
Model atau munculnya istilah jeprut, itu pun nisacaya
bukanlah sesuatu yang tiba-tiba. Jauh lagi ke belakang, di masa pra-bredel
adalah suasana "tenang terkendali" tapi sekaligus begitu mencekam,
suasana yang begitu penuh ketakutan; jika hendak berujar mesti menelikung
dan menekuk-tekuk dulu kata-kata hingga tak jelas, berekspresi seni pun
seperti kehilangan kemungkinan serta kehilangan maknanya karena berhadapan
dengan keadaan sekaligus kekuasaan yang begitu bebal dan degil. Maka, sepertinya
ada sesuatu yang muncul dari bawah sadar, "persetanlah dengan bentuk
(seni) karena hal itu sudah tak berguna lagi," begitulah kira-kira.
Berkali-kali pula kami menjalani kegiatan yang kemudian oleh seorang kawan,
Eddy Pohang, dinamai "proses untuk menjadi." Suatu kegiatan yang
tak perlu kepanitiaan, tak perlu janji waktu, tak perlu mencatat siapa
yang ikut dan siapa yang nonton, tak perlu pula memilah-pilah disiplin
seni yang melatari, bahkan siapapun bisa masuk seketika itu.
Berkali-kali peristiwa itu berlangsung. Suatu ketika ada
Andar Manik, berikutnya bisa saja menghilang. Demikian halnya Marintan,
Arahma"jelug"yani, Ine Arini, Tisna Sanjaya, Tony Broer, Rachman
Sabur, Soni Farid Maulana, Wawan S. Husin, dan belakangan Isa Perkasa,
kawan dari gerbong, serta tentu saja beberapa orang seperti Erick Yusuf,
Moro, Harry Roesli, dkk. senantiasa stanby di sana. Waktu menjalani itu,
jauh sekali pikiran dari keinginan berkonsep, bahkan hampir tak ada ruang
untuk bertanya; kita ini ngapain sih? Pendeknya "asal" ada bunyi
(musik), yang lain membuat atau mengolah rupa, sebagian lagi "merengkel
jahe" (melakukan gerak tubuh), bahkan Tisna Sanjaya suatu ketika "hanya"
membacakan salawat berulang-ulang yang kemudian diikuti yang lain hingga
menggema di seluruh ruangan.
Sekali lagi, suatu gerakan tanpa pretensi dan, ya, tanpa
tujuan! Tapi, kenapa bisa terus berulang, dan kenapa pula seperti tiba-tiba
ketagihan untuk terus melakukannya? Itulah pertanyaannya.
Selidik punya selidik, setidaknya pada diri sendiri, pada
saat itu segala cara sepertinya sudah mentok, tak ada lagi yang bisa diucapkan
dan tak menemukan lagi cara ungkap yang diharapkan bisa didengar. Lewat
"proses untuk menjadi" tiba-tiba saja itu semua terasa terlampiaskan,
kadang-kadang seperti ekstase, atau paling tidak mirip-mirip orgasme.
Tak percaya lagi pada kata dan tak percaya lagi pada bentuk,
antara lain menghasilkan pula tontonan "formal" seperti "Metateater:
Dunia Tanpa Makna" (1990-1991) atau "Overdosis" tahun berikutnya,
"Rakit" (1995), lebih jauh lagi "Puitika Sampah (1998);
tapi pada akhirnya tetaplah ada kerinduan ke pola "jeprut" yang
tanpa rencana tadi. Di tengah itu muncul "Ladang Mengerang" di
halaman rumahnya Tisna Sanjaya, lantas yang relatif meluas adalah peristiwa
Ruwatan Bumi di bulan April 1998. Berikutnya adalah gerakan menggugat YPK
yang marak dalam rentang waktu hampir sebulan penuh. Harry Roesli sendiri
pun "mentradisikan" kenyataan ini menjadi peristiwa musik 25
jam di CCF Bandung atau hal yang sama seperti dilakukannya di Teater Utan
Kayu, dan di beberapa tempat lain.
**
Kembali
ke Atas
|